The Forgotten

Rim
3 min readMar 2, 2020

Tentang yang terlupakan dan yang melupakan

image source by flickr.com

Siang itu, aku menemani seorang teman yang ingin membeli ponsel baru. Aku membawanya ke sebuah gerai ponsel yang cukup besar dan cukup terkenal di Banjarbaru. Sebagaimana gerai ponsel biasanya, di dalamnya ada banyak jejeran konter dari berbagai macam merek ponsel. Dari yang keluaran Amerika hingga yang keluaran Cina.

Di setiap konter berdiri pramuniaga yang selalu tersenyum dan menayapa pelanggan yang datang. Dari arah kiri dan kanan, depan atau belakang, orang-orang akan berusaha menawarkan berbagai macam produk kepadamu.

Aku lantas mengajak temanku menuju salah satu konter ponsel di gerai tersebut. Selagi melihat-lihat aku iseng-iseng bertanya kepada si pramuniaga, “Ponsel merek XM tipe MX sekarang berapa harganya, ya?”

“Oh, sekarang udah nggak ada lagi produknya, Mbak,” kata si mas pramuniaga.

“Nggak ada lagi?” tanyaku dengan ekspresi terkejut. Si pramuniaga mengangguk. Ternyata ponsel yang aku beli sekitar satu tahun yang lalu sudah tidak diproduksi lagi. Sudah digantikan dengan beberapa tipe terbaru. Tentu dengan fitur dan spesifikasi yang lebih canggih.

Produk ponsel yang sudah tidak ada lagi di pasaran karena tergantikan dengan tipe terbaru, membuatku teringat akan diriku sendiri.

Setelah membeli ponsel, temanku jadi lebih mudah dihubungi dan lebih cepat merespon. Dia memiliki akun instagram, sering memposting status whatssap, cepat membalas pesan chat, dan suatu hari seorang teman lama menghubunginya melalui sambungan telpon aplikasi whatssap.

Teman yang juga aku kenal karena kami pernah bertemu di sebuah kegiatan yang sama. Waktu itu aku adalah salah satu panitia penyelenggara dan dia adalah peserta. Tahun ini dia yang menjadi panitia, sementara aku memilih pensiun saja.

Aku pikir kami berdua lumayan cocok. Kami memiliki selera humor yang sama. Kami sering saling lempar guyonan. Ketawa-ketawa. Dan, aku pikir, itu adalah alasan yang bagus untuk mengatakan bahwa kami cukup dekat dan saling mengenal. Tapi, siang itu, saat dia menghubungi temanku melalui sambungan whatssap, dia membuatku merasa seperti tipe ponsel yang sudah tidak ada lagi di pasaran.

Aku mencoba menyapanya, “Hai, kakak. Apa kabar?”

Tidak direspon. Suaranya yang terdengar melalui speaker ponsel, tetap asik berbicara kepada temanku.

Temanku lantas berkata, “Kak, ada yang nyapa, Kakak.”

“Siapa?”

“Rima, ingat nggak?”

“Rima?”

“Iya. Panitia angkatan pertama.”

“Oh.” Suaranya terdengar ragu-ragu. “Mungkin ingat kalau liat wajahnya.”

Aku terdiam.

Nyatanya kejadian siang itu mengingatkanku lagi akan adegan di gerai ponsel. Tentang tipe ponsel. Mungkin bisa dianalogikan dengan tentang “bagaimana nama kita” di ingatan orang lain. Dan, tentang bagaimana nama orang lain di ingatan kita sendiri.

Mungkin begitulah kehidupan. Kita mengenal banyak nama dan melupakan banyak nama. Alasan kenapa kita bisa lupa adalah karena kita pernah mengenalnya.

Seperti namamu yang tidak selamanya di ingatanku, begitu pula namaku di ingatanmu. Sama seperti ponsel yang cepat berganti dari satu tipe ke tipe yang baru, nyatanya nama kita di ingatan orang lain juga mungkin seperti itu.

Mendapati tipe ponselku, yang baru aku beli satu tahun yang lalu, kini sudah tidak ada lagi di pasaran, mengingatkanku pada diriku sendiri yang mungkin perlahan-lahan juga akan terlupakan.

Tapi, tentang ponsel itu, aku pasti tentu akan terus mengingatnya, karena aku memilikinya. Sekalipun, suatu hari aku tidak lagi menggunakannya. Kenyataan bahwa aku pernah memilikinya membuatku akan terus mengingatnya.

Mungkin, seperti itu juga manusia: pasti akan banyak yang saling mengganti dan tergantikan, tetapi orang yang benar-benar merasa saling memiliki, tidak akan pernah benar-benar melupakan.

— — — —

__Thanks for reading my story.

--

--

Rim

I’m not very good at capturing moments with a camera, but I can capture moments with my words. — rimaliem15